by : Syahrul Al Farabi
Ketika seseorang tak menyeduh kopi di pagi hari, dia bisa jadi gila. Saya pernah membaca yang demikian. Sepintas disebuah dinding sosial media. Serupa puisi dan prosa. Di pagi hari tentunya.
Kopi memang kata kata yang menyihir – selain cinta. Kata ini telah banyak melahirkan peradaban kata diantara lembaran sastra. Sang penulis biasanya menenggak mabuk aroma kopi hingga pada akhirnya meneteskan air mata dan gelak tawa dalam satu nafas panjang sejarah dan cawan kenangan yang berlumuran akan karya sastra. Literature pada dinding dinding imajinasi inilah yang kadang menjadi penanda gerak peradaban. Menjadi kiblat dari deru interpretasi yang tak kunjung usai.
Kopi – yang tak pernah jelas rekam jejak sejarah penciptaannya, dengan beraninya mengekspos diri dan mendiktumkan imajinasi. Dia masuk pada nalar nalar yang rasional ataupun irasional dan menopengkan diri sebagai penyelamat dari dekadensi moral dan insting insting jahat.
Kopi dengan demikian adalah soal petualangan imajinasi yang mengaktualkan diri dengan banyak kebohongan. Kopi selalu jadi seksi dan obat dari rasa sepi. Menyeduhnya pada pagi hari bisa membangkitkan semangat hidup di tengah terpaan rutinitas yang kadang mengoyak kemanusiaan di akhir abad 21.
Buku
Peradaban dibangun di atas buku – buku, bukan? Makanya saya juga berharap, bisa membangun diri di atas tempaan beberapa buku. Meskipun jalan yang harus ditempuh demikian ngeri dan mencemaskan, saya lebih memilihnya sebagai pegangan masa depan.
Kengerian dan kecemasan itu datang di sela – sela waktu yang hening. Pada setiap bait huruf dan teksnya, seperti menyimpan bau busuk darah dan sejarah. Saya kadang mendapati juga kegelisahan disana. Kesepian abadi ditengah sunyi pencerahan.
Buku adalah sebuah jendela, kata orang-orang. Disana tempat manusia ‘melihat’ dengan mata dan pikirannya berbagai macam pengetahuan. Melihat dengan demikian adalah proses menimbang dan mengira – ngira perihal paradigma yang bersesuaian dengan realitas kekinian.
Disana, seperti jembatan, yang menghubungkan kita antara kepastian dan ketidakpastian. Meniti di dijalannya adalah perihal pertaruhan dalam hidup. Tak biasa.
Kegilaan
Apakah yang gila itu? Dia bisa banyak dan beda. Tergantung dari sudut mana seseorang melihatnya. Gila bisa bermakna ketaksadaran oleh para psikiater. Kesana kemari berjalan di tengah hari yang panas di musim hujan sambil berteriak-teriak menyeru tuhan dan keadilan yang absurd.
Gila bisa juga adalah nafsu yang terorganisir dengan amat baik dan rapi. Semacam institusi dari sebuah perlawanan pada kesatuan yang diinstruksikan oleh tubuh dan jiwa. Nafsu menjadi wajah baru. Disana aturan digubah, dikonstruksi, sekaligus ditelanjangi.
Gila juga bisa disematkan pada yang suci. Pada mereka yang jatuh cinta, entah pada kopi, buku, dan puisi dalam bingkai wajah seorang perempuan. Menenggak harumnya di pagi hari. Membaca lembarannya dimalam yang sunyi. Atau menyimpan ‘harap’ untuk sebuah perasaan yang mengabadi.
Dan, Kegilaan ku padamu pagi ini, ketika puluhan teks telah aku tulis, lalu aku kirim kepadamu, tapi ku hapus lagi. Seperti, selalu ada yang tak cukup dan selesai. Seperti aku dan dirimu tak pernah punya kepastian di masa depan yang suram. Termasuk untuk berbagi kopi dan buku. Atau mungkin kegilaan?