Saya mendapat sebuah pesan singkat darinya. Tadi malam sekitar pukul dua puluh satu lewat. Ketika buhul – buhul malam mulai merentang dan gelap mulai pekat.
“Kak?”
Begitu katanya. Tiba tiba saja. Tanpa ada spasi. Dan saya disergap debar yang tak biasa. Sebuah perasaan yang bening dan haru. Waktu seperti disuling jadi baris baris puisi dan sajak. Dan akupun hanyut terbawa perasaan paling subtil tak terjelaskan ; bahagia.
Begitulah kami memulai, mencoba sesekali menduga-duga dan saling mengeja kisah. Kami dua pribadi yang dipertemukan takdir. Dan setelah itu, lamat – lamat, pertemuan itu bertransformasi jadi sebuah keyakinan. Disini, sedang ada cinta yang kuncup. Aku dan dia.
Dan perasaan itu datang mengabarkan wahyu. Semacam visi yang akan merekatkan kami dalam sebuah ikatan suci. Namun selalu ada tetirah ; ada sebuah dialog dan tutur yang mengambil ruang dipersimpangan.
Men – cinta ; adalah sebuah kata kerja. Sebuah laku yang tak mudah. Disana ada proses mengaktual perasaan perasaan primordial yang disisipkan Tuhan pada rahim kemanusiaan. Dengannya manusia menjaga tatanan semesta. Dengannya perdamaian dan cinta kasih ditumbuhkan. Dia (cinta itu) memampatkan siang yang renggang dan malam malam yang gigil oleh embun yang kabut.
‘Menahan’ dari perihal cinta adalah laku yang lebih revolusioner lagi. Itu semacam membangun tembok pembatas. Semacam dinding penghalang. Menahan dengan demikian memberi ukuran pada cinta dengan kadar tertentu dari sebuah serangan tiba-tiba yang bisa meluluhlantakkan perasaan perasaan yang mencoba menunggu dan bersabar. Setiap kisah, katanya, selalu ada waktu yang tepat untuk dinubuatkan.
Aku mencintaimu. Tapi cintaku (dan mungkin cintamu) adalah cinta yang menjadi (to-be). Sebuah cinta yang tak selesai kita bicarakan dalam satu tarian kelopak daun yang jatuh di sore hari ketika matahari hendak undur diri. Cinta kita (mungkin juga) adalah kuncup kembang yang masih malu malu tegak berdiri di hadapan rekah sinar mentari pagi. Bahkan bisa jadi, sebuah rasa yang sederhana dalam balutan sinar bulan yang sering kau kagumi di jalan- jalan desa menuju rumahmu. Saya tak begitu mengerti. Tapi saya tahu pasti, bahwa kau menahan untuk sebuah akhir yang bahagia.
Engkau memilih menahan perasaan itu hingga tiba waktu yang dijanjikan. Tapi aku kurang peduli. Aku kadang melabrak tembok yang engkau bangun itu dengan tangan – tangan gemetar dan perasaan yang dingin. Mencintaimu akan jadi sebuah takdir yang tak lagi bisa ditampik. Aku melakukannya dengan cukup datar dan biasa. Seperti mengeja buku ataupun merapal doa. Tenang dan penuh meditatif. Begitulah perasaan ini menderas.
Untuk Jusbaniar Dg. Ngintang ; Perempuan sederhana yang akan menjadi rumah jiwaku. Terimakasih telah memberikan ruang pada laki – laki yang hampir dilumat sunyi ini. Semoga Tuhan melukiskan kisah terbaiknya untuk kita. Menikmati senja yang merah atau Purnama yang rekah. Bersama hingga tutup usia.
Rumah, 2019