~ untuk setiap Hawa yang masih sibuk menyulam kisah kasihnya~
Menulis tentang risalah cinta pada bulan yang (katanya) penuh kasih sayang saat ini akan membantu merefresh kembali, kalau bukan menambah perspektif kita tentang cinta itu sendiri. Risalah singkat ini juga penting untuk menghidupkan dan membangkitkan kesadaran tertentu dalam jiwa dan pikiran manusia yang bisa digunakan untuk bersiap mengalami cinta dalam beberapa tahapan. Bukan bermaksud ingin mereduksi risalah ini dengan bahasa deskriptif sederhana, sebab kita tahu sendiri, bahwa ‘pengalaman’ tentang cinta adalah risalah yang penuh sejarah dan romantisme pada masing – masing manusia. Oleh sebab itu, narasi ini hanya sekedar sebagai api kecil yang ingin memantik substansi jiwa – jiwa yang mungkin saja telah kering dari perasaan cinta yang penuh akan nilai ataupun makna dalam hidup.
Selain itu, risalah cinta ini bukan hanya sekedar cerita yang ingin mengumbar romantisme tentang hidup yang singkat dan ‘fana’. Tetapi lebih jauh, risalah ini hendak menjadi bagian yang penting dalam perkembangan spiritual kita menuju Tuhan. Sebagaimana kita tahu bersama, cinta adalah kekuatan yang mampu mentransformasi setiap jiwa atau kehidupan batin manusia. Sesuatu yang kita istilahkan sebagai efek alkemis pada jiwa. Dimana perkawainan alkemis antara raksa dan belerang akan menghasilkan substansi kongkrit. Hal itulah yang kemudian melambangkan gerak transformasi batin manusia.
Cinta memang adalah sesuatu yang sangat paradoksal. Dia adalah kehidupan sekaligus kematian. Dia juga bisa adalah kebahagiaan, namun juga penderitaan dalam waktu bersamaan. Atau dalam bahasa metafisika, ia adalah api yang nyalanya menerangi dan panasnya menghidupkan hati dan memberikan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa.
Seyyed Hossen Nasr, seorang guru besar studi islam di Universitas George Town bahkan menyebut cinta adalah bagian dari hakikat Ilahi. Dalam Al Qur’an sendiri, salah satu nama Allah Swt adalah Al – Wadud atau Cinta. Oleh sebab itu, semua hal tentang eksistensi ataupun keberadaan, yang memancar dari – Nya, adalah jaring –jaring kecintaan. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Atau seperti yang dikutip Dante dari Devine Comedy, kesatuan ruhani tertinggi yang melibatkan pengalaman dan realisasi dari “I’amor che move il sole e l’altre stelle”, yakni cinta menggerakkan matahari dan bintang – bintang lainnya.
Hari ini, sebagian manusia mungkin telah kehilangan cinta pada serangkaian bab hidupnya, sehingga mereka butuh moment khusus untuk merayakannya. Namun demikian, mereka yang masih memilikinya, hanya membatasi diri pada tahapan cinta yang paling elementer. Padahal ada banyak jalan bagi manusia untuk bisa mengaktualkan cintanya. Kaum sufi dan agamawan juga banyak berbicara tentang hirarki ataupun tahapan – tahapan lain dari risalah cinta itu sendiri. Sebuah tahapan cinta yang dimulai dari tingkat gradasi paling biasa hingga kepada tahapan paling suci.
Tahapan Cinta Manusia
Yang pertama dari tahapan mencintai adalah cinta ego atau cinta diri atau mencintai diri sendiri. Dalam bahasan lain, jenis cinta ini adalah mencintai hal – hal meteril atau yang nampak. Tahapan cinta ini disebut tahapan cinta terendah sebab sifatnya yang memenjarakan objeknya, melumpuhkan dan menghambat perkembangan jiwa untuk sampai pada tahapan cinta berikutnya. Dalam buku Essential Sufism, orang modern adalah contoh masyarakat yang terjebak pada tahapan ini. Mereka berhenti pada mencintai diri mereka sendiri.
Sikap yang kedua adalah mencintai sesuatu di luar dirinya, entah itu manusia, hewan, ataupun benda – benda seni atau hasil peradaban manusia. Namun jenis cinta inipun hanya sementara. Sifatnya menipu. Tidak kekal atau temporer. Sikap ini akan menjerumuskan manusia pada penderitaan. Seringkali kecintaan ini menimbulkan keterikatan pada dunia yang terlampau tinggi hingga membutakan manusia.
Kemudian ketiga, ada cinta kepada realitas suci atau segala sesuatu yang bersifat sakral. Kecintaan kepada para nabi dan rasul utusan, wahyu, orang – orang suci, atau segala sesuatu yang mengarahkan kecintaan kepada yang Ilahi adalah contoh dari sikap kecintaan ini. Sikap ini kemudian mengarahkan manusia kepada kesadaran bahwa Allah Swt adalah satu – satunya sumber dari segala yang suci. Oleh sebab itu, manusia harus mensucikan dirinya di dunia agar sampai pada Ruh yang Suci.
Tahap cinta yang terakhir adalah cinta kepada Allah Rabbul Alamin. Yang tak berbatas dan suci adanya. Dialah pemilik dan sumber segala kecintaan. Dalam bahasa puitis Ahyar Anwar, dzat yang ‘tubuh’ Nya adalah cinta, dzat yang cahaya – Nya menyilaukan semesta dan menundukkan matahari. Semua mahluk, bahkan yang mengaku ingkar akan cinta-Nya, pada akhirnya akan diliputi oleh Kasih-Nya yang tidak terbatas. Demikianlah signifikansi spiritual cinta manusia kepada Tuhan yang Rabbi. Sebuah wajah kasih yang suci.
Semoga pada moment kasih sayang ini, kita bisa mentransformasi wajah kecintaan kita menuju pada hakikat cinta yang lebih suci dan luhur. Pada wajah cinta yang lebih damai dan penuh welas asih.
2018