Teori Kritis dan Problem Manusia Modern

Revolusi teknologi dan informasi mendatangkan satu bentuk kemudahan bagi semua orang untuk menunjukkan eksistensi dan aktivitas keseharian. Namun dibalik kemudahan, terselubung satu kelemahan lain – kemalasan dan rasa marah yang tidak terorganisir. Realitas media sosial adalah wajah paling nyata orang-orang menunjukkan ide, gagasan, hingga kemarahan. Hal tersebut termasuk kemarahan pada sistem pemerintahan ataupun demokrasi yang menuai banyak kecatatan dan bolong disana sini. Hal ini membuat publik marah, kecewa, dan hilang kepercayaan.

Dalam satu rilis survey terbaru, politisi menempati posisi teratas sebagai figur yang paling tidak dipercaya oleh publik. Representasi suara masyarakat di Dewan Perwakilan Rakyat ini menempati posisi sebanyak 45%, menyusul pejabat kabinet/kementerian sebanyak 41% serta aparat penegak hukum sebanyak 41%. Hal tersebut tentu saja menjadi pekerjaan rumah semua pihak, khususnya para akademisi dan pelajar (baca mahasiswa).

Namun, kemudahan yang didatangkan teknologi dan informasi seakan menjadikan persoalan di atas hanya menjadi debu yang cepat berlalu. Seperti ketika orang-orang kaget membaca berita di layar handphone, sekejap saja tangannya menyentuh dan berpindah pada realitas lain. Kemarahan datang, namun hanya sebatas komentar pedis yang tenggelam dengan kemarahan lain. Tak ada upaya konstruktif, apalagi tindakan sistematis dalam upaya melawan persoalan yang membuat masyarakat ditindas dalam sistem yang hegemonik.

Teori Kritis

Sikap marah berbeda dengan sikap kritis. Kemarahan adalah hasil produksi emosi sesaat. Orang-orang jengkel, marah, hingga mengumpat. Namun, sikap kritis adalah upaya sistematis untuk membuka selubung persoalan hingga manusia melihat kebenaran. Franz Magnis Suseno – dalam pengantarnya pada buku Sindhunata – Dilema Usaha Manusia Rasional – menyebut sikap kritis tidak berhenti pada penjelasan, pertimbangan, kategorisasi dan refleksi, namun sikap kritis ingin mengubah (transformasi) sistem. Yang hendak diubah tentu saja bukan isi ‘filsafatnya’, melainkan semua hal yang membuat manusia tertindas oleh pekerjaanya sendiri.

Teori kritis membuka tirai kebenaran masyarakat modern yang hampir keseluruhan aktivitasnya terbelenggu dalam irasionalitas. Kehidupan masyarakat ditandai dengan kesibukan yang membius dan menghilangkan kemanusiaan mereka, atau dalam istilah teori kritis sebagai alienasi. Hal itulah yang hendak diungkupakan dan dibebaskan dari manusia modern.

Emansipasi dan Kesadaran Kritis

Ujung dari teori kritis adalah perubahan atau transformasi. Mungkin hal tersebut harus digaris bawahi oleh para akademisi, pelajar atau mahasiswa saat ini. Teori kritis, dalam keyakinan para pelopornya, sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Orang-orang menyebutnya sebagai revolusi. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lain. Oleh sebab itu, hal paling mendasar dari teori kritis yakni menciptakan ‘emansipasi dan kesadaran kritis’. Tentu saja hal tersebut bisa didapatkan lewat aktivitas edukatif, analisis dan budaya kritis.

Kampus sebagai institusi tertinggi dalam wacana pengetahuan harus menjadi garda paling utama dalam mewujudkan iklim akademik yang baik. Kemampuan kampus dalam menyusun dalam merumuskan strategi emansipasi dan budaya kritis harus dimulai sejak awal. Hal tersebut merupakan cita-cita bersama dalam rangka menciptakan kampus yang kritis, inovatif, dan dinamis.

Meminjam narasi Agus Nuryatno dalam The Journal of Society & Media bahwa pengembangan kritik dalam dunia kampus berarti mengembangkan kapasitas berpikir bagi sivitas akademika. Jika kritik sudah membudaya dalam kehidupan kampus maka kemungkinan menjadikan pendidikan tinggi sebagai media pembentukan masyarakat kampus yang kritis, inovatif, dan dinamis dapat terwujud.Tapi jika yang dikembangkan di kampus adalah budaya akademik yang instan, praktis, dan pragmatis maka kampus hanya akan melahirkan culture of silence. Atau dalam bahasa puitis Henry A Giroux, hilangnya “language of critique” dan “language of possibility” sebagai awal hilangnya kemungkinan terciptanya emansipasi dan transformasi. Kampus, dalam hal ini dosen dan mahasiswa, harus mampu mewujudkan budaya kritis sebagai upaya menjaga tradisi pengetahuan dalam melahirkan ‘agent of social change’ yang selalu menjadi istilah kebanggaan bersama. Itulah yang diharapkan oleh bangsa dan masyarakat, garda paling depan dalam membela hak-hak publik. Wallahu a’lam bishawab.

Author: diferensia22

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *